Puisi Sapardi Djoko Damono yang Tak Lekang Oleh Waktu

Puisi Sapardi Djoko Damono yang Tak Lekang Oleh Waktu

Heboh.com, Jakarta – Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang penyair yang namanya sudah tak asing lagi di Indonesia. Lelaki kelahiran 20 Maret 1940 ini, dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan. Hal itu membuat beberapa karyanya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.

Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh. Sepanjang hidupnya, Sapardi telah menerima banyak penghargaan, di antaranya Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), dan ASEAN Book Award (2018).

Berikut beberapa puisi karya Sapardi Djoko Damono yang tak lekang oleh waktu.

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari

Baca Yuk!
Mengenang Sosok Sapardi Djoko Damono
Deretan Selebriti yang Juga Menulis Buku

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu,
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kita berdua saja, duduk
Aku memesan ilalang panjang dan
bunga rumput
kau entah memesan apa
Aku memesan batu di tengah
sungai terjal yang deras

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi: 
Memungut detik demi detik 
Merangkainya seperti bunga 
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. 
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. 
Kita abadi

Di Restoran

kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk
Aku memesan rasa sakit yang tak
putus dan nyaring lengkingnya
memesan rasa lapar yang asing
itu.